Sebuah perjalanan sejatinya adalah bagian awal dari pengalaman hidup. Kita tidak tahu bagaimana kelanjutannya karena ini masih bagian dari sebuah proses. Kita juga tidak tahu apakah akhir dari perjalanan kita ini sesuai dengan yang kita harapkan atau tidak. Inilah yang akan kuceritakan kepada kalian tentang perjalananku menuju desa-desa yang sebelumnya belum pernah aku datangi.
Cerita ini diawali dari niat tulus untuk berbagi pengetahuan kepada anak-anak di desa tertinggal. Karena tugas mendidik bukan hanya bagi guru, namun bagi semua orang yang berpendidikan. Aku tidak tahu benar atau salahkah pilihanku, dengan niat yang aku genggam kurelakan pekerjaan dan aktifitas kuliahku untuk mengikuti salah satu kegiatan pengabdian di daerah Lebak. Aku sadar bahwa ketika menginginkan sesuatu, harus ada hal lain yang dilepaskan.
Setelah proses penyeleksian dan pembekalan yang memakan waktu 4 Bulan lamanya akhirnya aku berada pada pengumuman untuk pemberangkatan, namun sayang ternyata waktu berbenturan yang membuatku harus menunda pemberangkatan setelah kegiatan UAS selesai. Karena inilah aku menyusul dengan berat hati yang diawal dijanjikan akan diantar oleh panitia, ternyata hanya distasiun dan aku akan mengarungi perjalanan menuju desa seorang diri. Ya, memang ini kesalahanku karena tidak bisa berangkat diwaktu yang tepat, namun berangkat sendirian tanpa arah untukku yang pertama kali meninggalkan rumah adalah hal yang sangat amat menakutkan, apalagi dengan sopir, barang bawaan, & jalanan yang membuatku tiada hentinya menyebut kalimat dzikr dan menyerahkan segalanya pada Allah SWT.
Setelah perjalanan malam yang sangat menegangkan, beberapa menit sebelum hari berganti aku sampai di pertigaan. Tanpa jaringan yang memadai aku berusaha menenangkan diriku sendiri, untung saja dari sini ada seorang panitia lain yang menjemput menggunakan motor membawa senter. Tanyaku diawal perjalanan menuju lokasi tentang keadaan teman-teman yang telah berada disana. Namun lagi-lagi ekspektasiku ditabrak oleh suasana yang sangat mencekam, gelap, dengan jalanan yang naik turun berbatu sementara samping kiri kanan adalah jurang yang dalam. Ya Allah, ini pertama kalinya merasakan perjalanan yang sulit. Pikiranku jadi berkeliaran, "Bagaimana jika kita jatuh kejurang?" atau "tiba-tiba motor tua ini mati ditengah jalan setapak tanpa lampu ini?"
Tidak lama setelah itu, motor tua itu mati dan butuh waktu beberapa saat untuk hidup kembali. Bayangkan saja jika seperti ini sudah pasti orangtuaku menyuruhku untuk membatalkan keberangaktan. Tapi aku tidak ada niatan untuk memberi tahu, karena ini adalah kegiatan yang aku pilih dan aku harus bertanggung jawab hingga akhir kegiatan ini. Butuh waktu sekitar 20 menit perjalan untuk menuju desa tujuan dengan naik motor. Aku jadi membayangkan, bagaimana si panitia ini tengah malam sendirian ke pertigaan, atau sepertinya sudah biasa.
Sampai disana aku bersyukur karena selamat. Namun rasa lelah menghantui, sesegera mungkin aku dibawa ke rumah kobong yang berisikan belasan orang dalam satu ruangan. Kegiatan sehari-hari disini dimulai dari bangun tidur, memasak, mengajar, mengaji, dan evaluasi. Seperti itu, namun sepertinya karena aku datang terakhir jadi sulit berbaur dengan yang lain yang sudah bersama-sama seminggu. Overthinking ku muncul karena kesulitan bersosialisasi, pikiran rindu rumah kembali datang namun sesegera mungkin aku abaikan dan fokus untuk tujuan aku mengikuti kegiatan ini yaitu berbagi manfaat dan belajar ke masyarakat.
keesokan harinya tepat sebelum dzuhur, aku dan seorang lagi diminta untuk persiapan karena siang ini kami akan dipindahkan langsung ke desa lainnya. Mungkin inilah jawaban dari Allah tentang kesulitan sosialisasiku, dipindahkan ketempat baru dengan orang-orang yang aku tidak kenal lebih baik daripada menyusup dalam alur pertemanan yang telah berjalan. Padahal aku baru saja mencuci mukena yang kotor karena jatuh, mau bagaimanalagi, aku bawa semua yang basah itu dan langsung berangkat keluar desa menuju pertigaan.
Kali ini kita berdua akan di drop menuju desa yang letaknya katanya dekat. Dengan motor tua itu kembali kita bertiga melaju menuju kampung Djamrud. Aku jadi berfikir, siapa teknisi yang modif motor ini hingga kuat berjalan jauh dan sangat irit bahan bakar. Nyatanya kata dekat itu dengan jarak tempuh 1-2 jam, dengan jalan yang unik, mulai dari bebatuan, aspal, tanah merah, pasir dan pastinya menajak naik turun. Cukup menyenangkan karena bisa menikmati setiap keasrian yang dilewati, pemandangan yang tidak akan bisa dinikmati di kota.
Sesampainya disana kami ternyata menginap dirumah seorang guru, sungguh sangat baik, sedikitpun kami tidak kekurangan makanan ataupun minum. Aku menyadari bahwa ternyata masih banyak orang baik, jika kita berniat baik. Kami diperbolehkan menginap selagi menunggu surat izin keluar dari koordinator wilayah. Kampung ini cukup ramai karena sedang diadakan pernikahan, segala macam pertunjukan dan tradisi ditampilkan. Keseharian disini juga cukup menyenangkan karena MashaAllah, tidak terlewat sedikitpun pengajian disetiap malam dan subuh. Anak-anak yang menggemaskan, jarak menuju sekolah yang dekat, tersedianya jaringan dari pemerintah. Sungguh nikamat mana lagi yang ku dustai?
Rasa syukur mengalir setiap hari, hingga kekecewaan muncul ketika di hari ketiga kami harus pergi ke sekolah lainnya yang lebih membutuhkan. Karena ternyata guru-guru disini sudah lumayan banyak dan kepala sekolah merekomendasikan kami untuk ke sekolah lainnya. "Pengen pulang aja" Keresahanku dan temanku ketika kami harus berpindah lagi.
Jadi? bagaimana perjalananku selanjutnya?
0 Komentar